Namun peperangan pertama ini dimenangkan oleh pihak Kesultanan Aceh, dimana dalam peristiwa tersebut tewasnya Jendral Johan Hermen Rudolf Kohler yang merupakan Jendral besar Belanda akibat ditembak dengan menggunakan senapan oleh seorang pasukan perang Kesultanan Aceh yang kemudian diabadikan tempat tertembaknya pada sebuah monumen kecil dibawah Pohon Kelumpang yang berada di dekat pintu masuk sebelah utara Masjid Raya Baiturrahman.
Sebagai markas perang dan benteng pertahanan rakyat Aceh,
Pada saat itu, Masjid Raya Baiturrahman digunakan sebagai tempat bagi seluruh
pasukan perang Kesultanan Aceh berkumpul untuk menyusun strategi dan taktik
perang. Sejarah mencatat bahwa pahlawan-pahlawan nasional Aceh seperti Teuku
Umar dan Cut Nyak Dhien turut serta mengambil andil dalam mempertahankan Masjid
Raya Baiturrahman.
Masjid Raya Baiturrahman terbakar habis pada agresi tentara
Belanda kedua pada tanggal 10 April bulan Shafar 1290H/April 1873 M yang
dipimpin oleh Jendral van Swieten. Tindakan Belanda yang membakar Masjid Raya
Baiturrahman yang merupakan masjid kebanggaan milik Kesultanan Aceh Darussalam
inilah yang membuat rakyat Aceh murka sehingga melakukan perlawanan yang
semakin hebat untuk mengusir Belanda dari Kesultanan Aceh.
Pembakaran Masjid Raya Baiturrahman yang dilakukan oleh
pihak Belanda ini membuat salah seorang putri terbaik Aceh, Cut Nyak Dhien
sangat marah dan berteriak dengan lantang tepat di depan Masjid Raya
Baiturrahman yang sedang terbakar sambil membangkitkan semangat Jihad
Fillsabilillah Bangsa Aceh.
“Wahai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah!
Saksikan sendiri dengan matamu! Masjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah
Subhanahuwataala! Tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya!
Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih
adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih
adakah orang Aceh yang suka menjadi budak kafir Belanda?” (Szekely Lulofs,
1951:59).
Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar,
pada pertengahan shafar 1294 H/Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal
Van Sweiten dan sebagai permintaan maaf juga untuk meredam kemarahan rakyat
Aceh maka Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali
Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu
Kerajaan Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman
pada saat Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat masih bertahta sebagai
Sultan Aceh yang terakhir. pernyataan ini diumumkan setelah diadakan
permusyawaratan dengan kepala-kepala negeri disekitar Kota Banda Aceh. Dimana
disimpulkan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang
100% beragama Islam.
Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Jenderal
Karel Van Der Heijden selaku gubernur militer Aceh pada waktu itu dan tepat
pada hari Kamis 13 Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M, diletakan batu pertamanya
yang diwakili oleh Tengku Qadhi Malikul Adil.
Masjid Raya Baiturrahman ini selesai dibangun kembali pada
tahun 1299 H dengan hanya memiliki satu kubah. Pada tahun 1935 M, Masjid Raya
Baiturrahman diperluas bagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah.
Perluasan ini dikerjakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum (B.O.W) dengan biaya
sebanyak F. 35.000,- (tiga puluh lima ribu gulden) dengan pimpinan proyek Ir.
M. Thahir dan selesai dikerjakan pada akhir tahun 1936 M.
Usaha perluasan dilanjutkan oleh sebuah panitia bersama
yaitu Panitia Perluasan Masjid Raya Kutaraja. Dengan keputusan menteri tanggal
31 Oktober 1975 disetujui pula perluasannya yang kedua dan pelaksanaannya
diserahkan pada pemborong NV. Zein dari Jakarta. Perluasan ini bertambah dua
kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Dengan perluasan kedua
ini Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan selesai dekerjakan dalam
tahun 1967 M.
Dalam rangka menyambut Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat
Nasional ke-XII pada tanggal 7 s/d 14 Juni 1981 di Banda Aceh, Masjid Raya
Baiturrahman diperindah dengan peralatan, pemasangan klinkers di atas
jalan-jalan dalam pekarangannya. Perbaikan dan penambahan tempat wudu dari
porselin dan pemasangan pintu krawang, lampu chandelier, tulisan kaligrafi
ayat-ayat Al-Qur’an dari bahan kuningan, bagian kubah serta instalasi air
mancur di dalam kolam halaman depan.
Pada tahun 1991-1993, Masjid Raya Baiturrahman melaksanakan
perluasan kembali yang disponsori oleh Gubernur Dr. Ibrahim Hasan, yang
meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya itu sendiri. Bagian masjid
yang diperluas, meliputi bagian lantai masjid tempat Shalat, perpustakaan,
ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan tempat wudu. Sedangkan perluasan
halaman meliputi, taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua
buah minaret. Sehingga luas ruangan dalam Masjid menjadi 4.760 m2 berlantai
marmer buatan Italia, jenis secara dengan ukuran 60 × 120 cm dan dapat menampug
9.000 jamaah.
Dengan perluasan tersebut, Masjid Raya Baiturrahman sekarang
memiliki 7 kubah, 4 menara, dan 1 menara induk. Dari masa ke masa masjid ini
telah berkembang pesat baik ditinjau dari segi arsitektur maupun kegiatan
kemasyarakatan. Sesuai dengan perkembangan, luas area Masjid Raya Baiturrahman
± 4 Ha, di dalamnya terdapat sebuah kolam, menara induk dan bagian halaman
lainya ditumbuhi rumput yang ditata dengan rapi dan indah diselingi
tanaman/pohon hias.
Saat bencana tsunami meluluh lantakan Tanah Rencong Aceh
pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, Masjid Raya Baiturrahman masih tetap
berdiri dengan megahnya, ombak tsunami yang mulai membasahi Bumi Aceh sungguh
tak mampu menghancurkan rumah Allah ini. Pada saat itu Masjid Raya Baiturrahman
menjadi tempat bagi rakyat Aceh berlindung juga sebagai tempat evakuasi jenazah
para korban tsunami yang bergelimpangan. Setelah melewati berbagai peristiwa-peristiwa bersejarah,
sampai saat ini Masjid Raya Baiturrahman masih tetap berdiri kokoh sebagai
simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.