Di masa keemasannya kerajaan Mataram Baru pernah
menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini
pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma
dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada
masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram
merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara
maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat
hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
MASA SULTAN AGUNG
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung.
Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa.
Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
TERPECAHNYA KESULTANAN MATARAM
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647),
tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan").
Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan
pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin
oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677)
ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya,
Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga
kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi.
Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5 km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti
Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708),
Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II
(1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC
sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya
Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap
di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaituKesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar,
Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan
wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
0 komentar:
Posting Komentar