Kata Siak Sri
Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama,
dalam bahasa Sanskerta, sriberarti "bercahaya" dan indera atau indra
dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota"
atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali
erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam,
kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.
Nama
Siak, dapat
merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag
atau
Asiagh yang bermaksudpedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa
Asii, masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan
diidentifikasikan
sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani.
Berkaitan
dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai
masyarakat
terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai
Pada masa awal
Kesultanan Melayu Melaka, Riau menjadi tempat pusat agama islam. Setelah itu
perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu
pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak
secara luas di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang
terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam atau
mengislamkan dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga
orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih
tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan
Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama
Islam.
Walau telah
menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, namun sedikit pengaruh Minangkabau
masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat
Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam
hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa untuk warisan dalam bentuk
rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja
Membandingkan dengan
catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak merupakan kawasan
yang berada antara Arcat danIndragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan
raja Minangkabau, kemudian menjadi vasal Malaka sebelum ditaklukan
olehPortugal. Sejak jatuhnya Malaka ke tangan VOC, Kesultanan Johor telah
mengklaim Siak sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Hal ini berlangsung
hingga kedatangan Raja Kecil yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak. Dalam Syair Perang
Siak, Raja Kecil didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di
Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan Siak dari pengaruh Kesultanan
Johor.
Sementara dalam Hikayat Siak, Raja Kecil disebut juga dengan sang
pengelanapewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan. Berdasarkan
korespondensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur
Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil
merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC. Kemudian
Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri yang ditujukan kepada pihak
Belanda, menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas
atas kematian Sultan Johor.
Sebelumnya dari
catatan Belanda, dikatakan bahwa pada tahun 1674 telah datang utusan dari Johor
meminta bantuan raja Minangkabauuntuk berperang melawan raja Jambi. Dalam salah
satu versi Sulalatus Salatin, juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan
Jambi ke Johor (1673), yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor,
yang sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh. Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi,
Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul
Jalil hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.
Pada tahun 1718,
Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan
dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor. Namun
pada tahun 1722, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak
Bendahara Johor, yang juga menuntut hak atas tahta Johor. Atas bantuan pasukan
bayaran dari Bugis, Raja Sulaiman kemudian berhasil mengkudeta tahta Johor, dan
mengukuhkan dirinya menjadi penguasa Johor di Semenanjung Malaysia. Sementara
Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintandan pada tahun 1723 membangun pusat
pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura.
Sementara pusat pemerintahan Johor yang
sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, dan
menjadi status quo dari masing-masing penguasa yang bertikai tersebut.
Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor, diakui oleh komunitas
Orang Laut. Orang Laut merupakan kelompok masyarakat yang bermukim pada kawasan
Kepulauan Riau yang membentang dari timur Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan,
dan loyalitas ini terus bertahan hingga runtuhnya Kesultanan Siak.
Dengan klaim sebagai
pewaris Malaka, pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan
wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak dan
kemudian membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun pada tahun 1728,
atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, Raja
Kecil diusir keluar dari Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan
Bintan sebagai pusat pemerintahannya. Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan
Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.
Sementara Raja Kecil
terpaksa melepas hegemoninya di Kepulauan Riau dan mulai membangun kekuatan
baru di kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja
Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan diSemenanjung Malaya. Karena
mendapat ancaman dari Siak, dan disaat yang bersamaan orang-orang Bugis juga
meminta balas atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan kepada
Belanda di Malaka. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1746 itu,
Johor menjanjikan akan memberikan Bengkalis kepada Belanda. Perjanjian itu
kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.
Sepeninggal Raja
Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor memudar. Dan pengantinya Sultan Mahmud
berfokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan daerah
vassal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761,
Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan
dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang
persenjataan. Setelah Raja Mahmud wafat, muncul dualisme kepemimpinan di
kerajaan ini. Raja Muhammad Ali yang lebih disukai Belanda kemudian menjadi
Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang tidak disukai Belanda, muncul
sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Laut Cina
Selatan, dan membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.
Sekitar tahun 1767,
Raja Ismail telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil. Didukung oleh Orang Laut,
ia terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan
mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan
Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu
Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya
ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan
Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan, mulai
dari Terengganu, Jambi, dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan, Palembang
telah membayar 3.000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman
dari gangguan. Sementara Hikayat Siakmenceritakan tentang kemeriahan sambutan
yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.
Pada abad ke-18,
Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera.
Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah
tersebut dalam pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah
ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak
membantu VOC menyerang dan menundukkanSelangor. Sebelumnya mereka telah
bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.
0 komentar:
Posting Komentar