
Lokasi Pajajaran pada
abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat pada peta Portugis yang menunjukkan
lokasinya di wilayah Bogor, Jawa Barat.Sumber utama sejarah yang mengandung
informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke 15 sampai
awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama
tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci
dalam naskah kuno tersebut.
Pada tahun 1579 Pakuan
Pajajaran hancur, rata dengan tanah, akibat serangan pecahan kerajaan Sunda,
yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan
dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana (batu penobatan tempat seorang calon raja
dari trah kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi
monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di
Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran
200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim
sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda.
Palangka Sriman
Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di
Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Saat itu diperkirakan
terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di
daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan
sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.
Prasasti Batutulis
sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan
tangan" untuk Universitas Leiden, Belanda. Upaya pembacaan pertama dilakukan
oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang
meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan
pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian
Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun
1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau
"Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,
"Waar alle
legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige
dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond,
aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te
trachten".
(
Dalam hal
legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung
Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah
yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit kontradiksi
dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi
keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh
wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan
kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan
sebagai kota.
Babad Pajajaran
melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan
"Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota
dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di
daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan
Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti
Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama
Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana
Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data
kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan
bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu
terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor.
Menurut kisah klasik,
leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana.
Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi
Sipatahunan" itu. Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen
"Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan
bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga
kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua.
Selain itu, lokasinya
terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling
lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam
berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian
tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan
sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara
Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".
Sebenarnya hampir
semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis
14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang
digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan
tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini
memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu
bekas "balay" yang lama.
Penelitian lanjutan
membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah
dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti
"porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga
dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas
lokasi gerbang.
Benteng pada tempat
ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci
Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga
Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar
dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan
Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas
fondasi benteng.
Selanjutnya benteng
tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan
Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di
bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang
sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak
lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya
Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan
Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung
Lawang Gintung.
Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.