Maulana
Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam
penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan
benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat
pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad
Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang
diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan
pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
Kekuatan politik
Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana
Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada
masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja
bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pada awalnya kawasan
Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda.
Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke
kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang
ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan
Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas
perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan
penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan
pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai
membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan
perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam
penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak
dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan
Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan
kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan
Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf
anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi
Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun
1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai
Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit
gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam
penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran
Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang
mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu
al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara
intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu
itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I
tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles
Kesultanan Banten
merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang
perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten
berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9]
Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan
multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang
dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng
Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah
dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta
juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[12] Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke
Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan
menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari
tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas
kapal-kapal dagang menuju Banten
PERANG
SAUDARA
Sekitar tahun 1680
muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan
pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini
dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan
dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan.
Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London
tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.
Dalam perang
ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang
disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai
oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran
Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda.
Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus
mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada
dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim
Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung
dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan
dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh
Yusuf.
Sementara setelah
terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung
Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan
dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan
pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di
antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler
dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan
VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di
Batavia
DAFTAR
RAJA KESUTANAN BANTEN
- Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
- Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
- Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
- Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
- Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
- Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
- Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
- Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
- Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
- Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
- Ratu Syarifah Fatimah 1747 - 1750
- Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
- Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
- Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
- Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
- Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 - 1813
0 komentar:
Posting Komentar