Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan negara dependen yang berbentuk
kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan
dilaksanakan menurut perjanjian atau kontrak politik yang dibuat oleh
negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan
Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan
kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940.
Sebagai
konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik
Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara
dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama-sama dengan
Kadipaten Pakualaman diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat
provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Nama
Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal
dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam
kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai. Dengan ditandatanganinya
Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 antara Pangeran Mangkubumi dan
VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi
dua.
Pangeran
Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I
dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan
Pakubuwana III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama
baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
Sultan
Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta
istananya yang baru dengan membuka daerah baru di Hutan Paberingan yang
terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut
istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para
penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku
Buwono.
Untuk
membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya,
secara umum, digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping...ing
Ngayogyakarta Hadiningrat " (bahasa Indonesia: "yang bertakhta ke ....
di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus atau gelar bagi
Sultan, antara lain Sultan Sepuh untuk Hamengkubuwana II, Sultan
Mangkubumi untuk Sultan Hamengkubuwana VI, atau Sultan Behi untuk Sultan
Hamengkubuwana VII.
Dalam
strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu
bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula
Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan
puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki
hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah.
Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan
cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian
mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan
pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang
dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu
pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta
pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat
jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu
terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga
negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.
Pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan
susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan
menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga
disebut Parentah Hageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang
juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan
pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan
dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal
Pada
mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi
menjadi empat kementerian yang dinamakanKanayakan. Kementerian urusan
dalam adalah:
(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
(2) Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah
(5) Kanayakan Siti Sewu, dan
(6) Kanayakan Bumijo,
yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
(7) Kanayakan Panumping, dan
(8) Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.
Masing
masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya
juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam
peperangan. Untuk menangani urusan agama, Sultan membentuk sebuah badan
khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus
masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan
upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam
lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota
dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat
senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem.
Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan
peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui
bawahannya, Demang, dan Bekel.
Setidaknya
sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara
merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya
maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi
Kesultanan. Kedudukan Residenini mulanya berada di bawah Sultan dan
sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen
menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili
kehadiran Gubernur Jenderal.
Dengan
kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak
diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan
berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem,
Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar
kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus
sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai
dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih
Dalem yang dikontrol oleh Residen.
Selepas
Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di
tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh Belanda untuk
mencegah terjadinya pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara de facto
dan de jure menjadi negara protektoratdari Koninklijk der Nederlanden,
dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu pemerintah Hindia
Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak
politik bagi calon Sultan yang akan ditakhtakan. Perjanjian ini
diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan Hamengkubuwana
IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur
Hindia Belandauntuk Daerah Yogyakarta, Lucien Adam dengan HB IX.
Pada
1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara
intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk
membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan Yogyakarta
dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN
untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk
belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultanmendapat uang
ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak
politik yang dibuat sebelum Sultan ditakhtakan. Dengan demikian Sultan
benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di
istana saja.
Perubahan
besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwana IX (HB
IX) naik takhta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang
(1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi
(bandingkan dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan
pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan
oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang
masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi
berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di
bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan
kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
Pada
pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danureja VIII,
mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan
tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan
mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai
kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu
urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan
dalam istana ditangani oleh Parentah Hageng Karaton yang
mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada
di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di
pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
0 komentar:
Posting Komentar